ACHMAD SOCHIB

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

TERNYATA KUNCI SUKSES ITU

(Tantangan hari ke-6)

Malam belumlah larut. Jarum jam dinding baru sampai tangga ke sembilan. Mbak Kar masuk kamar menidurkan Aska, putranya. Bapak dan Emak baru saja masuk ke bilik. Tidur. Beliau memang membiasakan tidur awal sejak masih muda. Agar cukup tenaga untuk bekerja esok hari, katanya. Orang kampung memang mempunyai cara tersendiri untuk mengatur hidupnya. Berbeda dengan aku, apalagi malam ini Kang Mar bermalam di rumah. Aku harus menemaninya begadang. Sebulan sekali Kang Mar sekeluarga datang menjenguk bapak dan emak. Namun jarang bermalam. Biasanya tiba pagi lalu sorenya pulang. Hari ini mereka tiba pada siang menjelang sore. Ada sesuatu? Aku hanya bisa menduga. Kang Mar menyimpan rencana.

Semilir angin menyusup melalui daun pintu yang belum sempurna tertutup. Pendapa rumah bapak ini terasa semakin sejuk. Suasana tenang menguar bersama cahaya lampu yang temaram. Ruang yang sangat luas untuk kami berdua. Kang Mar duduk bersila di tengah amben berteman secangkir kopi dan sepiring jagung rebus. Aku duduk di pinggir amben agak dekat dengannya setelah dimintanya. Ada rasa sungkan yang tiba-tiba menyanderaku. Suasana berubah serius, kaku. Lagi-lagi aku hanya menduga.

“Dik Bun, tebu utara desa bagaimana?” Kang Mar membuka suara.

“Ndak ada masalah, Kang, sebulan lagi bisa dipanen,” jawabku singkat.

“Alhamdulillah. Matur nuwun, lho Dik, berkat kerja keras Dik Bun semua usaha kita lancar.

Nggih, Kang. Sapinya juga bagus. Empat betina pekan lalu beranak hampir bersamaan. Sekarang pedhet-nya jadi sebelas.”

“Alhamdulillah. Jadi, setahun bertambah sebelas.”

“Ya, masih ada empat yang belum beranak.”

“Semuanya jadi dua puluh sembilan, ya? Luar biasa.” Senyum Kang Mar mengembang lepas. Kepalanya manggut-manggut tanda gembira.

“Dik Bun memang berbakat. Selanjutnya begini, Dik,” Kang Mar mulai serius.

Aku bersiap mendengar dengan beringsut lebih mendekat. Setelah menghela napas dan menghirup sisa kopi yang mulai dingin, Kang Mar menepuk pundakku. Aku diam.

“Dik Bun sudah melewati ujian keras selama tiga tahun. Dik Bun lulus.”

Aku mendongak pelan. Kuperhatikan raut Kang Mar. Matanya bening dan senyum masih menyungging. Hatiku lega. Tidak mungkin kepercayaannya kepadaku dicabut.

“Dik Bun harus menjadi petani dan peternak yang sukses. Jangan puas dengan keberhasilan selama ini. Untuk itu, malam ini Kang Mar dan Mbak Kar akan menyerahkan tabunganmu.”

“Aku tidak pernah menabung, Kang.”

“Sebentar, selama ini Mbak Kar memberimu gaji kecil hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok Dik Bun saja karena sebagian yang lebih banyak ditabungkan. Gunakanlah untuk membuka usaha.”

“Tebu dan sapi Kang Mar?”

“Tetap dalam pengawasan Dik Bun. Kang Mar akan meminta Dik Pur, putra Pakde Ndoko untuk membantu Dik Bun.”

“Kang …?”

“Yakinlah, Dik Bun mampu. Ingat nasihat Kang Mar dulu. Ya.”

“Boleh menjadi karyawan atau bawahan tetapi cukup tiga tahun. Setelah itu harus punya karyawan.” Aku mencoba mengulang nasihat Kang Mar.

Aku tidak hanya segan. Haru. Tidak terasa pipiku penuh air mata. Kini kebaikannya aku terima lagi. Mereka benar-benar menjadi panutanku.

Ya, meskipun Kang Mar ini kakak ipar, namun beliaulah yang membantu aku hingga lulus SMA. Aku sengaja tidak melanjutkan kuliah karena tidak nyaman harus merepotkan keluarga Kang Mar terus. Aku tahu Mbak Kar dan Kang Mar tidak berpikir begitu. Mereka ikhlas. Namun, karena tekadku untuk bekerja telah bulat apalagi nilaiku pas-pasan, aku dipercaya mengelola usaha tebu dan sapi mereka. Sementara mereka mengelola usaha yang sama di kampungnya sendiri. Terhitung sudah tiga tahun aku menerima kepercayaan itu. Alhamdulillah berhasil.

Sebenarnya selama ini aku hanya mengikuti petunjuk Kang Mar. Setiap pagi berkeliling kebun tebu untuk memastikan hal-hal yang perlu penanganan khusus. Dengan begitu aku selalu mengetahui perkembangan tanaman emas itu. Biasanya setelah mengurus sapi-sapi, aku segera berjalan keliling. Sekaligus mengecek para pekerja pemelihara tebu. Sapi-sapi juga aku perlakukan sama. Pagi dan sore harus aku cek satu persatu. Semua kuperhatikan. Makanan dan minumannya harus cukup, jangan berlebih dan jangan kurang. Karena rutinitasku itu, ada tetangga yang memberi cap kepadaku sebagai pemuda kuno karena jarang ke kota, berbelanja, berlibur, atau sekadar jalan-jalan.

Ya, biarlah. Aku lebih mempercayai nasihat Kang Mar saat memasrahkan pekerjaan ini.

“Alam, tumbuhan, hewan, dan apa saja yang kita perhatikan akan memerhatikan kita. Kita penuhi kebutuhannya, kita pelihara, kita sapa setiap hari, maka suatu hari mereka akan memberi buah terbaik kepada kita. Itu namanya sayang. Itu namanya cinta. Jika kita sayang dan cinta, maka mereka akan sayang dan cinta kepada kita. Kita akan sukses”

Kini aku akan memulai membuka lembar perjuanganku sendiri. Semoga berhasil.

#TantanganGurusiana

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post